Manusia sebagai al-hayawan an-nathiq -seperti yang dikatakan oleh Ibnu Sina-, kian hari otaknya berputar menciptakan berbagai sistem kehidupan. Dari yang mikro seperti manajemen diri, hingga sistem makro yaitu negara republik atau kerajaan. Bahkan atas dasar prinsip, manusia mampu merangkai super makro. Sebut saja One World Goverenment misalnya sebagai rencana besar kaum zionis, atau Khilafah Islamiyah yang selalu dinanti oleh kaum muslimin dan dijanjikan oleh
Tuhan sebagai Sunnah-Nya setelah hampir satu abad sistem itu tumbang dari muka bumi.
Dalam pembahasan spesifik kali ini, kita akan berkenalan dengan sastra sebagai komoditas politik dalam ruang makro. Ibarat komputer dengan perangkatnya, sistem makro itu takan lepas dari komponen IPOLEKSOSBUDHANKAMRATA. Kesemuanya itu diwujudkan melalui pembelajaran disiplin intelektual, dan sastra adalah salah satunya. Lalu seberapa nampak sastra berkiprah mendirikan sebuah negara yang identik dimainkan melalui kompetisi politik ???
Sebelum masuk ke wilayah peran sastra sebagai mesin politik, mungkin kita perlu meniru tradisi pondok pesantren yang apabila seorang santri ingin mempelajari suatu disiplin ilmu, ia mesti berkenalan dengan Mabadi dari Funun yang akan dipelajari yang terkadang membutuhkan waktu berminggu-minggu. Disini pun kita akan sedikit mengulas mabadi seni sastra itu sendiri secara global. Diawali dengan definisi sastra yang berarti kode etik untuk mengekspresikan relasi hati dengan logika yang ditumpahkan melalui alat yang bernama bahasa, baik itu lisan, tulisan, isyarat ataupun taqrir. Lalu menginjak pada fungsi sastra, yaitu sebagai sarana moralitas interaksi sosial yang berobjek pada tata bahasa. Mungkin sebagian mabadi diatas cukup membuat kita faham mengenai sastra.
Jika kita kembali pada definisi dan fungsi sastra itu sendiri, maka kita akan tahu bahwa sastra merupakan fenomena kehidupan manusia. Dikatakan fenomena, karena sebagai salah satu disiplin ilmu teoritis, ia begitu dinamis mengahadapi realitas zaman. Aturan mainnya pun terkadang kondisional, bahkan terkesan fleksibel sehingga mengundang kontroversi dan polemik yang selanjutnya terlahir studi kritik sastra.
Berlanjut pada ta’rif politik. Semua leksikolog punya titik kesamaan definitif mengenai politik, yaitu segala urusan atau tindakan mengenai institusi pemerintahan suatu negara yang identik pada zaman modern dengan wadah partai. Politik juga punya makna etimologis sebagai menajemen. Setiap individu dengan heterogenitas sikapnya terhadap politik akan dikotak-kotakkan kedalam istilah-istilah seperti partisipan, anti-politik atau partai, dan politikus.
Dari dua kata; sastra dan politik, timbul bermacam korelasi seperti politik sastra dan sastra politik, belenggu sastra terhadap politik atau sebaliknya, pengaruh politik dalam sastra atau sebaliknya, sastra sebagai agen politik dan seabrek istilah lainnya mengenai diksi dua kata tersebut.
Sebenarnya berbicara mengenai sastra berarti membahas pembagian stylesnya. Ekspresi sastra dibagi kedalam dua bentuk; Natsr dan Syi’r yang dalam tataran aflikatif keduanya dirangkai dalam bingkai yang kita kenal seperti puisi, sajak, pidato, drama dan teater yang didalamnya terdapat unsur amtsal atau hikam yang dicipta untuk aghradh adabiyah tertentu, baik itu madih, ritsa, hija, fakhr, hamasah, ghazal, i’tidzar, studi historis, urusan religi dan lain sebagainya. Adapun syi’r, konon adalah bentuk sastra yang mempunyai kedudukan tinggi bagi bangsa arab. Namun wibawanya menjadi padam ketika Al-Quran dengan i’jaznya turun ke muka bumi.
Kehidupan manusia sendiri secara naluri membutukan sastra sebagai komponen yang digunakan untuk keseimbangan interaksi, termasuk kepentingan politik. Bahasa yang menurut definisi Ibnu Jinni “Ashwatun yu`abbiru biha kullu qaumin `an aghradhihi” dicipta sedemikian rupa sebagai infrastruktur politik. Lalu kita bertanya lagi “Sedahsyat apakah sastra dapat berpolitik?” Maka jawabannya adalah bergantung pada kualitas muatan dan kuantitas respon. Isi sastra genre-politik yang padat dan objektif serta equivalen dengan nurani sosial akan mudah menyihir publik.
Sejarah, sebagai studi yang mengandung durus wa ibar membuktikan. Dunia islam masa Dinasti Umayyah berdiri tegak melanjutkan pemerintahan khilafah setelah pimpinan Baginda Ali bin Abi Thalib Ra. -walau usia kekuasaannya tak sepanjang Abbasiyah-. Sastrawan masa itu ikut berjasa memainkan tampuk khilafah. Setiap tokoh politik memperoleh dukungan sastrawan sebagai senjata ampuh menggulingkan lawan politiknya. Hanya dengan energi sastra, kursi khilafah bisa reot sampai akhirnya terguling dan tergantikan.
Dalam seni sastra, kegiatan perang sastra seperti diatas dikenal dengan istilah An-Naqa`idh. Jika pada masa Shadrul Islam, An-Naqa`idh digunakan untuk kepentingan dakwah islam dalam menyerang akidah dan mematahkan hamasah perang antar lawan yang disuguhkan pada pasukan militer masing-masing melalui pidato-pidato, sehingga motto yang nge-trand kala itu adalah “Nudafi’ bi Ashlihatina wa nudafi` bi alsinatina”, maka pada era Umawi, An-naqa`idh menjadi mansub bagi As-Siyasiyah sebagai yel-yel agresif.
Sebut saja sastrawan yang paling beken kala itu, seperti Akhthal, Jarir dan Farazdak. Karya-karya mereka berimajinasi tentang kekuatan tokoh yang menurut mereka layak menggenggam khilafah. Militansi keislaman sastrawan kelas kakap seperti mereka menghasilkan analisis tajam dalam memilih sosok yang cocok untuk disinggung dalam karya-karya mereka. Ini merupakan bentuk kepedulian mereka demi terciptanya stabilitas khilafah islamiyah sejati. Dalam arti lain, mereka diam-diam berdakwah melalui sastra demi kemashlahatan umat walau kadang dukungan mereka terhadap salah satu tokoh terkesan pengkultusan.
Inovasi sastra satu sama lain menyinggung supremasi calon khalifah masing-masing yang nantinya mendestruksi figur tokoh idola golongan lain sehingga substansi hija yang terkandung dalam karya sastra mereka mampu membuat “kikuk” lawan-lawannya. Gontok-gontokan sastra seperti ini berlangsung selama Khilafah Bani Umayyah berjaya.
Dari contoh kongkrit diatas, mungkin dapat diambil khulashah, bahwasanya sastra merupakan salah satu unsur aktif yang tidak bisa digugat dalam aspek pendirian negara apa pun di bumi ini. Profesi sastra dalam politik Indonesia sekarang pun terbukti jelas dijadikan handalan politikus dalam memaparkan presentasi fikrahnya. Jika Soekarno masyhur dengan slogan “rawe-rawe rantas, malang-malang putung”, maka SBY punya kata jitu “Lanjutkan!!”. Slogan, motto, yel-yel atau apapun itu namanya merupakan diksi kata pilihan yang memuat nilai-nilai sastra.
Dengan retorika pidato dan keterampilan bersastra, Soekarno terpilih sebagai presiden Indonesia pertama. Maka, karena taring pidatonya yang tajam, Bapak Reformasi ini mendapat julukan “singa podium” yang disejajarkan dengan Hitler sang Jantung Nazi. Dunia mana yang tidak mengakui kehebatan beliau diatas panggung. Koar-koar pidatonya yang diplomatis mampu memobilisasi massa sehingga Putera Sang Fadjar ini diekspos oleh media sebagai Penyambung Lidah Rakyat.
Lalu ketika kondisi politik ibu pertiwi dirasa tidak stabil dan rancu, dalam artian terdapat distorsi di dalamnya, maka sastrawan-sastrawan Indonesia meluncurkan karya-karyanya yang menyinggung politik sebagai rasa peduli untuk menegakkan keadilan dan menghapuskan keresahan-keresahan yang dinilai tersembunyi. Diantaranya adalah Pramoedya Ananta Toer. Sikap kritis terhadap sosial-politik ia tuangkan lewat sastra dalam bentuk buku atau novel, baik itu pada masa ORLA ataupun ORBA. Karya-karyanya seperti Perburuan, Percikan Revolusi, Di Tepi Kali Bekasi, Bumi Manusia dan yang lainnya dibuat sebagai kontribusi menyingkap kebijakan-kebijakan pemerintah yang pincang.
Kemudian mahasiswa pun tak ketinggalan dalam menyikapi habitat negaranya. Soe Hok Gie, mahasiswa revolusioner UI etnis china merasakan hal yang sama dengan Pramoedya. Jiwa kritisnya terhadap Orde Lama ia gelar lewat tulisan di media masa dan forum diskusi kritis. Di zaman Gie, kampus menjadi ajang pertarungan kaum intelektual yang menentang atau mendukung pemerintahan Bung Karno. Soekarno pun tumbang atas kiprah gerakan mahasiswa. Meski namanya tidak terdaftar di Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia(KAMI) yang pada waktu itu merupakan lokomotif politik, namun ia berperan aktif dalam berbagai demonstrasi. Buku hariannya yang dikenal orang sebagai “catatan seorang demonstran” kini dikejar-kejar dan digandrungi para sastrawan.
Peranan sastra dalam tatanan politik terlihat juga di Rusia. Responsibilitas sastrawan ibarat tali yang memainkan gasing di negara jeruji besi itu. Disana ada Boris Pasternak, sastrawan yang berjaya pada paruh pertama abad 20 ini berani melawan arus politik dalam negeri. Leo Tolstoy, Novel fiksi realistiknya yang berjudul "Perang dan Damai" mampu mengguncangkan publik lokal hingga menggemparkan dunia. Dan sekaliber Dramawan Vaclav Havel, dengan keterampilan retorikanya yang meledak-ledak diiringi penghayatan sastra yang menggugah nurani massa membuatnya harus rela menjadi presiden Cekoslovakia selama 13 tahun semenjak Revolusi Beludru meletus pada tahun 1989.
Fi an-nihayah, manusia-manusia sastra itu tergolong kedalam dua jenis. Yang pertama adalah Ahli Sastra. Ia adalah orang yang kompeten dalam bidang nazhariyah atau merupakan pakar teori kesusastraan termasuk dengan kritik-kritiknya. Dan yang kedua adalah mereka-mereka yang gatal inovasi yang kita sebut sebagai sastrawan atau pegiat sastra. Namun terkadang ada titik bingung untuk membedakan keduanya. Oleh karena itu, jika ahli sastra dianalogikan sebagai “jauz”, maka mereka yang sastrawan adalah fisik ajektif dari jauz itu sendiri atau yang kita fonetikkan dengan kata “mudawwar”. Dari sana, timbul kongklusi “kullu Jauz-in- mudawwar-un-, wa laisa kullu mudawwar-in- jauza-n-. Lalu ketika manusia-manusia sastra ini terlibat dalam politik, maka timbul kategori bagi mereka sebagai simpatisan, team success, pengamat politik, hingga pada akhirnya sastrawan adalah politikus.