Waktu itu kami pulang sekolah lewat jalan setapak yang diapit dua sungai besar dan sedang. Sungai besar berada di bawah curam jurang, yang satunya lagi sungai kecil yang bisa disentuh permukaannya karena begitu menempel dengan pinggir jalan setapak. Jalan itu kita namai dengan jalan DAM karena kata "DAM" tertulis pada tugu samping bendungan memasuki kawasan sawah. Jadi, jika kami pulang sekolah, teman-teman, khususnya si Enang dan si Willy suka menawarkan pilihan diantara apakah aku akan pulang via trotoar jalan raya sendirian atau lewat DAM rame-rame. Konon jalan DAM adalah jalan pintas bagi konco-koncoku yang tinggal di komplek Babakan Bandung. Mereka akan sedikit memotong jarak, mengurangi langkah, dan menghemat energi, ketimbang pulang lewat trotoar jalan raya Otto Iskandar Dinata yang lebih memihak dekat dengan rumahku.
Kebetulan pada siang itu, aku yang sedang mengenyam bangku kelas 6 memilih ajakan pulang melalui DAM demi membangun egalitas sesama teman. Tak ada rasa takut diantara kami berjalan diatas jurang yang dibawahnya sungai deras dan sedikit dibuaskan dengan ancaman hewan-hewan berbisa semisal ular. Aku tak ingat tanggal berapa waktu itu, tapi aku masih ingat kala itu adalah hari jum'at karena kami memakai seragam pramuka. Aku yang sedang bergurau dengan sahabat kelas tak menengok ke depan. Tubuhku mengarah ke arah mereka yang berjalan di belakangku dengan tanpa memperhatikan jalanan depan, tiba-tiba saja sayup kudengar kalimat inteljektif "awas, dek!" begitu jelas dan dekat. Seketika aku menoleh ke depan kudapati seorang Wekker alias petugas resmi penjaga irigasi daerah (sunda: Ulu-ulu) menaiki sepeda kumbangnya. Aku bertubrukan dengan Wekker itu. Aba-aba inteljektif tampaknya sia-sia untuk kuperhatikan karena jarak kami begitu dekat, lalu.....
GRUSUK.... Wekker dan sepeda kumbang yang dinaiki terjerembab ke jurang. Aku panik, spontan aku cemas plus takut, karena opini yang kami tahu tentang Wekker adalah sosok garang, sadis, selalunya menggondol golok di pinggang. Entah emang begitu faktanya, atau entah karena aku terjebak dalam prasangka buruk yang ujung-ujungnya akan menjadi sugesti sebagaimana dalam hadits qudsi "ana inda zhanni abdi bi..."
JEBBURRRR.... "Tunggu, kau!" begitu teriak geram sang wekker sambil mengacungkan telunjuk ancaman serius setelah ia dan spedanya tercebur. Spontan bulu kudukku merinding, aku terperanjat, berlari terbirit, dan berteriak: "Maaaaaaaaaaaaaakkk..."
Wajar kala itu aku memanggil "Mak" karena beliaulah sosok tempat mengadu keluguan masa lalu. Yang lucunya adalah aku mengompol di tengah jalan ketika aku kencang berlari. Sesampai di rumah, jantungku memompa keringat. Dengan gemetaran kuperosotkan celana, kucuci dengan sabun secepatnya, mengingat celana pramukaku hanya itu satu-satunya untuk esok hari sabtu. Aku gak mau bolos sekolah hanya karena gara-gara tragedi jalan DAM. Esok harinya aku berangkat sekolah. Sesampai di kelas, aku diolok-olok oleh si Willy dan si Enang di depan teman-teman sekelas. Mulai hari itu aku trauma dan tak mau pulang lewat DAM. Aku akan pulang sendirian lagi via trotoar jalan raya. Tapi minggu depannya aku berani lagi pulang bareng teman-teman lewat DAM, karena aku terlalu kesepian jika pulang dari sekolah sendirian terus. Kupikir, mustahil akan bertemu Wekker itu, dan walaupun berjumpa, aku yakin Wekker itu tak akan mengenaliku, seperti halnya aku yang tak hafal garis wajahnya.
Haha... mungkin bagimu memoar ini biasa-biasa saja terlebih bernilai, tapi bagiku ini amat berkesan dan kadang aku tertawa sendirian sambil menggeleng kepala. Sungguh, dulu yang begitu lugu, masa lalu yang amat lucu.