Jatah makannya di bungkus, dibawa pulang ke rumah. Dibagi-bagi, untuk ibu dan anak-anak bujangnya. "Kok di muntahkan?" "Rasanya aneh, baunya anyir, bentuknya mirip ingus. Jangan paksa aku memakannya, pak!" "Bubur ini kaya serat loh…" "Bagaimanapun juga tetap gak mau” Si bujang makan lauk lain. Hanya ibu dan bapak yang makan bubur asparagus tiap sore. Makanan-makanan itu dibawa bapak dari Restoran Purnama setiap pulang kerja. Semenjak di-PHK sebagai dekorator PT. Yulika Floris Jakarta, bapak membuka warung makan, sate & gulai. Warung itu hanya berjalan dua tahun. Karena
terlindas bangkrut, akhirnya tutup dan beralih profesi menjadi sopir Purnama milik China di Pujasera. Suatu sore, bapak belum pulang juga. Ibu agak cemas, pun si bujang. Di tengah malam, terdengar bising suara motor di luar rumah. Si bujang terbangun. Ada percakapan antara ibu dan bapak di ruang tengah. Itu suara Bapak. Nadanya seperti ada sesuatu. Tergelak dari tidur, si bujang menghampiri ibu sedang duduk di kursi bambu, dan Bapak berlari ke teras rumah. Rupanya ada tamu di luar sana. "Ada apa ini, bu?" "Lanjutkan tidurmu nak! Besok pagi ibu beri tahu” Pagi, sewaktu minta ongkos bekal sekolah, Ibu ditanya perihal semalam. "Bapakmu tabrakan Nak. Ada sekelompok racer jalanan balapan liar. Racer terdepan beradu dengan mobil inpentaris Purnama." Bapakmu kena hukum opini, Kijang bapakmu lebih besar dari Honda Astrea." "Jadi, massa menyalahkan bapak, bu?" "Iya, motor itu yang seharusnya salah, tanpa SIM, STNK, ugal-ugalan dijalan sempit, ditambah mabok, tetap, kendaraan kecil selalunya dianggap korban." Di satu sore. "kalian kemas-kemas!, kita akan pindah rumah malam ini." Ungkap Ibu, “Semua pakaian dibuntal, Setiap kalian nanti membawa gondolan, apa pun itu! Saatnya angkat kaki dari rumah ini.” Sepetak rumah dengan ukuran 12x10m. akan menjadi milik orang lain mulai esok hari. Uangnya dipakai ganti rugi korban tabrakan dan perbaikan mobil Purnama. Semenjak tabrakan itu, bapak tak lagi kerja di Purnama. Tiba malam. Ada empat becak di luar rumah. Dua lemari baju, satu lemari tempat biasa ibu menyimpan makanan dan lemari tempat menyimpan koleksi buku diangkut dua becak. Bapak naik satu becak beserta perabotan dapur. Ibu dan si bungsu -karena masih kecil- naik satu becak bersama buntalan-buntalan. Sementara empat bujang berduyun-duyun memangku gondolan di tepi jalan raya. Tak ada kata gengsi. Buang saja! “Di sebelah mana rumah baru kita, kak?” “Ikuti saja! Dekat kok” Tanpa lantai semen, keramik, atau marmer. Hanya tanah yang dibuat rata. Gubuk bilik tanpa dapur dengan lampu 10 watt membagi dua ruangan. Dingin, kalau malam tiba, angin masuk semaunya. Biliknya tipis berlubang-lubang. Maklum harga kontrakannya hanya 15.000 rupiah perbulan. Bapak menebali bilik itu dengan membaluti kertas roti yang didapat dari sampah toko matrial. Lumayan, angin tak lagi menusuk-nusuk. “Bangun... bangun, nak! Jangan sampai kita didahului yang punya MCK.” Setiap sebelum subuh, si bujang dibangunkan. Mandi, pakai seragam putih biru dan menanti panggilan subuh berkumandang. Selepas sembahyang munfarid, dua keresek kue-kue dihantar jalan kaki ke warung dekat rumah Nenek yang tak jauh dari tempat sekolah. Sampai di sekolah melanjutkan PR-PR yang belum rampung. Pulang sekolah, berlanjut membantu bapak menggarap lahan milik tuan servis las. Sebidang tanah bekas tempat membuang sampah di depan kontrakan itu akan disulap menjadi keringat. Setelah mengalirkan air ke dalam petak itu, bapak dan si bujang mengaduk-aduk dan mengusap-usap di buat rata. Beling dan serpihan seng kerap membuat pedih kaki si bujang dan bapak. "Jangan di gubris nak!, biarkan kakimu berkenalan dengan benda-benda itu. Nanti sore dikucuri Betadin" Terkadang membantu ibu membuat lontong-lontong daun pisang. Begitu, sampai sore. Sebelum kumandang maghrib, beserta adik menyusur trotoar menuju Masjid mengaji. Sepulangnya, mengerjakan PR-sekolah sampai pukul 21. Berlanjut membantu ibu membuat kue apem, dadar gulung dan yang lainnya tak ingat lagi. Bangun cepat lagi, begitu lagi. Kendati begitu-begitu saja, sandang juara kelas bisa diraih si bujang. Asparagus? Oh, iya. Semenjak tabrakan itu, tak pernah lagi ada semangkuk bubur asparagus terhidang di sore hari. Dan semenjak itu pula, tak pernah lagi terdengar kata asparagus. Waktu bergulir, tak terasa. Ramadhan 1429, berada di Katamea Height, menjemput rejeki di Villa Golf. Tiap kali iftor, terdapat jenis hidangan yang tak terlalu asing. Mulukhia, ya... itu dia, Mulukhia yang pernah nyicip sekali saja di flat kedua tahun lalu. Rupa lendir mirip ingus itu percis bubur asparagus. Komposisinya serbuk daun mulukhia hijau. Cara memasaknya seperti merebus mie instan. Kandungan gizi dan khasiatnya sama seperti asparagus. Hah.. asparagus? Bapak? Sambil menghadap hidangan iftor, teringat bubur asparagus yang biasa dibawa bapak dari Restoran Purnama 12 tahun lalu. Mengenang Bapak dan kepeduliannya terhadap kesehatan, sejak itu, mulai bisa berkata "suka" untuk Mulukhia. Dan untuk asparagus kelak. Insya Allah.