Ini Luqman, bukan gitaris Feather Band, tapi figur teladan manusia abadi yang namanya disinggung-singgung dan dijadikan Surat ke-31 dalam Al-Qur`an. Tapi semoga, siapapun yang bernama luqman adalah reinkarnasi sifat, bisa juga inspirasi pemberi nama agar penyandangnya menitisi perangai, atau sebuah harapan replika generasi.
Menurut sebagian, Luqman adalah orang soleh dari Habysi (Ethiopia sekarang) yang –menurut Khalid Ibn Al-Rabi’- berprofesi sebagai tukang kayu. Sumber lain menyebutkan profesi luqman adalah penggembala kambing, dan data lain menyebutkan Luqman adalah Hakim Bani Israil. Luqman Bin Ya’ur ini hidup pada zaman Nabi Daud as. Berdasarkan sebagian buku-buku Tarajim yang tersedia, Luqman adalah Putera saudara perempuan Nabi Daud as. Kendati sebagai “tukang”, sikapnya bijak penuh moral. Beliau terkenal arif memperlakukan hidup. Oleh karena itu, orang-orang memberinya gelar Al-Hakiem.
Sebagaimana kita tahu bahwa 1/3 Al-Qur`an adalah histori kehidupan dahulu, tentunya sebagai hikmah dan pelajaran. Dalam Al-Qur’an, Luqman diceritakan sebagai Bapak pemberi nasehat untuk anaknya. Ibnu Katsir dalam “Al-Bidayah wa An-Nihayah” menyebutkan ada 10 Nasehat yang terangkum dalam QS. Luqman sendiri. Sedangkan satu riwayat dalam Tafsir “Ruhul Ma`ani” dan tercantum dalam kitab “Hidayatul Mustarsyidin” terdapat 25 Nasehat. Semua Nasehat Luqman pada anaknya adalah wasiat bagi muslim. Mengenai rincian nasehat beliau, takkan dibahas di sini.
Yang akan diceritakan di sini adalah teori Dialektika (Tajahul) Luqman dalam memberi pelajaran, pada anaknya atau bagi siapa saja. Kisah ini bisa didapat pada diktat LIPIA atau sejumlah Ma’had AMCF jurusan Persiapan Bahasa (I’dad Lughawi). Kisah ini di alih bahasa sebagai kenangan masa lalu ketika masih jadi mahasiswa di Ma’had Al-Imarat Bandung. Entah dimuat dalam Matkul Qira’at atau Kitabat, masih lupa, sebetulnya bisa saja dicek langsung pada bukunya, namun berhubung domisili dan keberadaan pustaka rumah berjarak satu hari perjalanan pesawat, maka akurasi data dan validitas fakta cerita kurang klop. Dengan mengorek memori, cerita yang berjudul “Kalam al-Nas la yantahi abada” itu kurang lebih seperti berikut:
Alkisah, suatu hari, Luqman mengajak puteranya jalan-jalan. Entah tujuan mana yang akan di tempuh. Anak remajanya taat saja pada Luqman. Mereka berangkat bersama seekor keledai. Di ujung kampung, penduduk mengkritik Luqman yang sama sekali tidak mengendarai hewan itu.
“Luqman, di mana-mana keledai ditunggangi, bukan cuma dituntun. Anda ini bagaimana?''
Luqman patuh. Dia menunggangi keledai itu, sementara anaknya menuntun. Di gerbang sebuah kampung, mereka diprotes.
''Orang tua macam apa Anda ini, Luqman?'' kata mereka. ''Masa orang tua naik keledai, sedangkan anaknya dibiarkan jalan kaki?''
Luqman tidak membantah, malah menyuruh anaknya menaiki keledai mereka. Keduanya terus berjalan seperti itu, sampai mereka tiba di ujung kampung lainnya. Lagi-lagi, di sini masyarakat protes.
''Semoga masuk neraka anak kurang ajar ini,'' teriak mereka. ''Beraninya dia naik keledai, sementara ayahnya dibiarkan terlunta-lunta.''
Kali ini, anak Luqman mulai bingung. Dia merasa serba salah. Tetapi, akhirnya, dia mematuhi usul ayahnya agar menunggangi keledai kurus itu bersama-sama. Sang keledai terlihat terhuyung-huyung ketika warga tiba-tiba menghadang perjalanan mereka, lalu berdemonstrasi.
''Kami belum tentu berakhlak baik, Luqman!'' kata mereka. ''Tetapi, kami tidak sampai hati mengeroyok keledai kurus seperti ini. Di mana perikemanusiaan Anda?''
Luqman dan anaknya buru-buru turun dari keledai itu, lalu minta maaf. Mereka kemudian menuntun keledai itu sekali lagi. Tapi, khawatir dikritik seperti kejadian pertama, Luqman cepat-cepat menghentikan perjalanannya, lalu mengajak anaknya bermusyawarah.
''Terserah ayah saja. Saya bingung,'' kata anaknya.
''Kalau begitu, mari kita gendong keledai ini bersama-sama,'' perintah Luqman.
Bapak dan anak itu kemudian menggotong keledai itu sampai ke rumah, biar pun sepanjang jalan orang-orang memaki-maki dan mengkritik mereka.
***
Cerita di atas juga dijadikan Asbabul wurud (penyebab muncul)-nya salah satu Amtsal (peri bahasa arab) populer “Kalam al-nas la yantahi abada”, yang dalam translit bebasnya persis dengan potongan lagu Feather Band “Jangan dengarkan kata mereka, teruslah berjalan” (Pura-pura budeg, atau budeg beneran?)
Matsal di atas juga berkaitan dengan Asbabul wurud salah satu fabel dalam buku “Kalilah wa Dimnah” karya Pilosof India bernama Baidaba yang dialihbahasa-arabkan oleh Ibnu Muqaffa dengan judul “As-Sulahfah wal-Battotan” (Sang Penyu dan Dua Angsa); sang penyu yang terjatuh dari ranting saat dibawa terbang oleh dua angsa akibat tak tahan mendengar makian para komentator, padahal sudah diperingati oleh dua angsa biar kata orang apa, jangan didengar.
Loh... loh... loh… kok malah ngomongin fabel?
Back to entri. Dialektika Luqman lainnya bisa dicek pada situs ini. Berikut translit bebasnya:
Sebagai tukang yang memungut upah, suatu kali, majikannya berkata kepada Luqman, "Sembelihkan domba ini untuk kami." Lalu beliau menyembelihnya. Si majikan berkata, "Ambillah bagian dagingnya yang terbaik." Lalu Luqman mengambil lidah dan hati domba. Si majikan diam selama beberapa saat, lalu berkata, "Sembelihkan domba yang ini untuk kami." Lalu beliau menyembelihnya. Si majikan berkata, "Ambillah bagian dagingnya yang terburuk." Lalu Luqman mengambil lidah dan hati domba. Kemudian si majikan berkata, "Aku menyuruhmu mengambil dua bagian daging domba yang terbaik, lalu kamu melaksanakannya dan akupun menyuruhmu mengeluarkan bagian domba yang terburuk, lalu kamu mengambil daging yang sama." Luqman berkata, "Sesunguhnya tak ada sesuatu yang lebih baik daripada lidah dan hati jika keduanya baik, dan tak ada sesuatu yang lebih buruk daripada lidah dan hati jika keduanya buruk."
***
Itulah Luqman, tukang dialektika. Selalu memberi siraman bijak lewat penalaran dialog agar ilmu yang diajarkan lewat teori dialektika terserap sempurna. Dengan demikian, siapa pun dapat memungut nasehat implisit dari reaksi lingkungan. Sebagaimana peribahasa mengatakan, “Al-Hikmatu dhallah al-mu’min fahaitsu wajadaha fahua ahaqqu biha” yang maksudnya hikmah ntu harta yang tercecer, kalo loe pade nemuin, pungut aje, begitu kurang lebih.