Menjelang ujian, mahasiswa migran Kairo mulai nampak di Zagazig. Status mereka mahasiswa Zagazig, tapi tinggal di Kairo, karena punya aktivitas yang hanya bisa dilakukan di Kairo, biasanya. Waktu itu gW tuna wisma, tepatnya melepas flat lama demi prioritas MABA (mahasiswa baru). Untuk sementara masih bisa numpang di flat bawah sekretariat DPD, atau terkadang berpindah-pindah dari flat satu ke flat yang
lain.
Sore hari, kawan lama yang berdomisili di Kairo nongol. Kami bincang-bincang kangen setelah sekian bulan tak bertemu. Saat matahari tenggelam, kawan memelas, minta agar gW mau nganter dan nginap semalam di rumah yang bakal dijadikan tempat tumpangannya selama 2 minggu ujian term I.
Sekedar formalitas, di jalan kami membeli jeruk dan biskuit. Tiba di tempat tujuan, ada 2 penduduk asli flat; si A dan si B, dan 2 orang penumpang; si C dan si D. Malam hari, gW, kawan lama, penduduk asli dan penumpang goncak-goncakan ngobrol. Dan menginjak di satu topik; paranormal saba Kairo.
Penumpang C adalah mahasiswa yang merangkap status sebagai guides di salah satu travel Indonesia di Kairo. Si C bercerita, beberapa minggu yang lewat, ia nge-guide-in turis asal Indonesia. Ngakunya paranormal. Dan ngaku-ngakunya punya hubungan dengan SBY.
“Mau ngapain dia ke Mesir?” tanya kawan lama, “di Kairo kemana aja?”
“Katanya pengen jalan-jalan, ke Pyramid, mungutin batu koral di gurun Giza. Nantinya dikomersilkan dengan harga jutaan ke member di Indonesia. Dengan dalih batu keramat Firaun, biasanya orang (primitif) tergiur untuk memiliki. Konon sewaktu Umroh pun sempat mungut batu jalanan, dan di kontenerkan ke Indonesia sebanyak 50 kg sebagai batu suci dari Mekah. Aih... masih mau pergi Umroh.
Suatu malam, sang dukun gaul pengen makan. Ditawarin makan di resto tepi sungai Nile, Maydan Tahrir.
“Mau yang plus ada penari perutnya, atau resto biasa?”
“Yang biasa saja, dek”
Di perjalanan pulang, orang pintar itu nonton TV yang ada di mobil. Kebetulan ada tayangan tari perut.
“Ini apa dek?”
“Ya itu, tari perut”
“Yang bener dek?”
“Iya, di resto plus, kita bisa menikmatinya”
“Wah… ini seni, butuh apresiasi. Besok kita makan di resto yang plus ada tari perutnya ya dek!”
“Ditawarin tadi, malah nolak,” Gerutu si C, hatinya berisik. “Sekarang malah tergiur sama tari perut, dengan alasan seni.”
Keesokan malam, dukun modern itu merem-melek nonton perut goyang-goyang sambil nyicip makanan. Dengan pede, ia dekati sang penari, mengibing ala pencak dengan kostumnya yang serba hitam di tengah kerumunan bule-bule yang sedang makan.
“Malu aku punya muka. Kalau bukan sebagai guides profesional, enggan aku berada di tempat itu. Gerakan tari lawan (Mbah Dukun) yang asing di mata para bule dan pribumi cukup membuat mata-mata terbelalak keanehan.”
Kami tertawa lumayan terbahak sambil menikmati biskuit dicelupin teh matsbut(maknyos) hangat. Di rumah terpencil, jauh dari komunitas mahasiswa Indonesia. Rumah tua, flat bokingan mahasiswa pendahulu. Tipenya jauh untuk dikatakan sederhana. Kamar mandi saja tidak bisa untuk merentangkan tangan. Dan dapurnya, tubuh kita hanya muter-muter di tempat. Sementara kulit tembok-temboknya yang osteoporosis ditutup poster-poster. Pantas bayarannya setengah di bawah standar biasa flat-flat yang lain.
Selanjutnya kami hanyut dengan topik gurau lain di rumah yang cocok dijadikan lokasi penampakan itu. St. Farouk, musim dingin, januari 2008.