Dengan modal diktat copy-an, ketegangan imtihan term I level 3 menjadi angin lalu. Semampu tenaga, mata-mata kuliah itu; Pilologi Arab-Andalusia, Riset Balaghi, Dialektologi-Qira’at dan Histori Dinasti Abbasiyah ditaklukkan. Jangan sampai leher tertunduk lagi, semoga. Sebetulnya tundukkan kemarin adalah ladang kesempatan untuk terus berlatih, mengais pengalaman, menguatkan yang lemah, melengkapi yang kurang, mematangkan yang mentah, menambal yang bolong, meluruskan yang bengkok, mengasah yang tumpul, mereproduksi yang mandul, menongkati yang pincang, mengaca-matai yang rabun, menyehatkan yang sakit dan menstabilkan yang labil. Dengan begitu juga menjadi ajang mengumpul energi, menjejali memori, meraup ensiklopedi, memupuk buah pena dan mengelola pustaka. Ya, benar. Kondisi seperti ini wajib ditanggapi positif. Ini karunia. Bukankah “Ana inda zhanni ‘abdi bi?”
Berlama-lama di sini bukan problem negatif, justru itu kenikmatan. Pesan guru di pondok dulu bisa dipertimbangkan, “nilai formal bukan segalanya, yang penting bagaimana mengimplementasi “khairun--nas anfa’uhum lin-nas”. Anis Matta pernah orasi, “jabatan tidak sama dengan karya.” atau gaya Bung Yudha, “bagaimana pun kita, yang penting kontributif.” Itu tipikal-tipikal manusia operasionalis, bukan demagog belaka.
Setelah menjalani imtihan 3 minggu yang lalu, seperti biasa, aktivitas gerak habis dibagi tiga. Sepertiga hari hangus terbakar kompor pencetak semprong es krim, sepertiga lagi tertutup selimut Bordein, sepertiga sisanya pecah menjadi kepingan kondisi; kadang terlena melototi tarian sejumlah morfem dimana jadinya duduk, kadang bermetamorfosa menjadi gelas kosong yang siap dituang air, kadang ngelantur di ruang-ruang penuh kepala, kadang ikut-ikutan jadi suluh api unggun, kadang memuntahkan aksara pada carik-carik diary atau layar listrik punya orang, kadang seperti banjir hujan, semau sandal tua dekil mengalir, keluyuran menelisik legokan bumi, kadang juga kusut, semraut dan carut-marut diganyang seraut. Dan diantara sepertiga itu, kepingan kondisi punya otoritas besar, sepertiga yang dua ditindas dibudaki. Kebijakannya bisa memadamkan kompor pencetak semprong dan menyingkap selimut Bordein.
Apakah pola nafas seperti ini nyaman? Tidak, sekali-kali tidak. Bahkan enggan terus begini, larut dalam kubangan orientasi stagnatif. Metabolisme intelektual kurang sehat. Itu nyata, karena orang lain sudah terlalu jauh melambung, berada di garda depan, buah peluh mereka melimpah, setiap laju detik diguna untuk memutar ide, spirit mereka tsunami, angan mereka badai katrina. Bukankah untuk hal positif, manusia mesti menjengkal ke atas? Inginnya berontak. Mendobrak batas-batas kewajaran. Belum ada strategi mulus. Hanya mencoba realistis, namun idealis yang dijalani. Adapun keajaiban, sepertinya bukan diharap, melainkan ditelusur. Karena, teriak saja belum cukup. Dan akhirnya, tersebut label sebagai mahasiswa abadi dan tukang.
Menyoal layar listrik, ini lumayan berbahaya, bisa kena setrum, kecuali perlahan ketayapan menyingkir. Wajar, hak pemilik lebih besar dari penebeng. Berangkat dari sana, ingin rasanya ada se-inchi layar untuk mempekerjakan 10 jari memindahkan larik kata, siapa tahu bisa meledakkan nuklir di latar bumi. Lebih riang jika ditambah kabel pengakses informasi; kabel yang bisa mengunjungi pustaka besar sejagat. Bukankah teknologi adalah anugerah Tuhan?
Posisi seperti ini bisa memanusiakan manusia. Cukup Iwan Fals yang menjadi tiru. Orde Baru membuat gitarnya terpetik lantang. Ini Masyaqqah, tapi mawhibah, bahkan madrasah, dan kening layak mendarat. Jadi, biarlah tetap seperti ini.
Oh, sebentar! Bukankah sekarang ini zaman modern? Pengusung pena millenium identik dengan layar listrik. Tapi memelihara layar listrik tidak seperti merebus Indomie. Jalan kongkritnya memeras keringat, membanting tulang. Itu sedang, itu sedang dilampah. Namun sampai setengah dekade hanya bertahan menghuni bilik kepinding, dan kepinding-kepinding itu tiap saat menggerogoti neokorteks, belum lagi cekikan-cekikan yang belum dilepas. Bukan satu-dua yang seperti ini, tapi diantara.