Jembatan perbatasan, Lio-Babakan Bandung. Masih terekam racau bendungan itu, dekat rumah potong ayam yang baunya mendengus hidung. Disana, aku tak melewatkan hari-hari tanpa langkah dengan kepal pena dan gondol buku. Tujuanku adalah sebuah rumah selepas jembatan itu. Rumah sederhana dihuni 3 orang; ibu, bapak dan seorang putra bungsu, berteras dengan sekotak pekarangan. Disana di teras rumah itu, tiga bocah bangku kelas 6 putih-merah menggariskan kata bermain angka-angka. Mereka yang tiga adalah si putra bungsu rumah itu; Willy Febriansyah namanya, Enang Sumarna; tetangga sampingnya, dan aku sendiri; orang Lio seberang jembatan.
Memotong diksi "Hak dan Kewajiban Warga Negara" sub-judul mata pelajaran PPKN. dulu namanya PMP, Pendidikan Moral Pancasila. Ini yang masih singgah di ruang memori. Sampai sekarang aku greget dengan point “Hak mendapatkan jaminan keadilan sosial” dan “Kewajiban mentaati hukum dan pemerintahan”. Satu lagi pelajaran IPS, ini tak kalah menarik. Berselancar diatas peta-peta, melirik antropologi, berurusan dengan finansial dan membahas negara-negara. Dua pelajaran ini yang membuatku kelak memilih jurusan Pengetahuan Sosial di bangku putih-abu. Yang unik dari aktivitas ini adalah selingannya, minum jamu. Ya, aku masih ingat. Jika penat tiba, kami membawa botol kosong ke sebuah pabrik untuk diisi dengan jamu, lalu diminum sambil terbahak kepahitan.
Waktu, menyeret. Puluhan purnama berlalu. Setiap diri menuju arahan jiwa. Kondisi keluarga sedikit banyak menggurui. Pencar. Selatan ke utara, barat ke timur. Kedewasaan memeras hasrat. Realitas merangkai andil. Tiga sekawan memilih garis masing-masing. Aku mengasingkan diri, dari pondok satu ke pondok yang lain. Menyepi dari pantauan atap rumah tetangga, menghilang di setiap tikungan gang. Bau rumah potong ayam dan debur jembatan perbatasan tak lagi kuhirup-dengar. Dan gelak dua orang sahabat lenyap begitu saja.
Siang terik. Pembakaran karbon monoksida menyergap hidung, di Terminal Subang. Aku mencurigai seorang penumpang di satu mobil angkutan. Ikal rambutnya kukenali. Ahaa... ternyata dia Willy. Girang bukan kepalang. Serasa menemukan oase di kesesatan tandus gurun Sahara. Satu sahabat lama kutemui. Kutumpahkan kegelisahan seadanya. Hanya saja, jarak Subang-Bandung terlalu singkat. Luapan cerita berhenti, buncahan kata seumpama kapur barus, menyublim sesampai di Terminal Ledeng. Disana aku melanjutkan langkahku sendiri. Berpisah. Willy yang kini kuketahui ngampus di Hukum UNLA menyisakan nomor telepon rumah kakaknya; tempat ia tinggal di Bandung. Bodohnya, nomor kontak itu hilang entah kemana. Untung saja hampir seminggu sekali acak hari aku langganan menjenguk adikku yang tinggal di Pesantren Ulul Albab dekat kampus UNLA. Berharap setiap bosehan sepedaku menemukan Willy. Frase populer kuis familiy 100 “Anda belum beruntung” digondolku setiap aku melewati kampus UNLA. “Sudahlah, semoga esok masih ada hari”. Padahal inginku panceg. Ironis saja aku dan Willy ngampus di Bandung tapi tak pernah merajut sejatinya seorang sahabat, saling menjenguk dan berbagi.
Ohh..., iya. Tadi Willy, sekarang Enang. Aku bertemu sahabat ber-IQ tinggi ini terakhir kali di sebuah angkot pas pulang dari Pujasera. Baru sekali ini saja. Pertemuan ini teramat langka dibanding perjumpaanku dengan Willy. Karena Willy kerap kusaksikan ia nongkrong di depan jalan SMU PGRI 2 yang dekat dengan sekolahku; menyaksikan tanpa "say salam". Sedangkan Enang sekolah di SMU Negeri 3, beda komplek. Waktu itu Enang berseragam putih-abu. Disana aku hanya ngobrol-ngobrol sesingkat mungkin. Semenjak momen itu, mataku tak pernah menangkapnya lagi. Kuucapkan jurusku, “Sudahlah, semoga esok masih ada hari”.
Barusan aku sedikit berkisah tentang nostalgia lampau sang Three Musketeers; Aku, Enang dan Willy. Sekarang aku ingin berhikayat tentang guru pembimbing kelompok belajar kami. Ialah Bapak Osmalik; bapak kandung Willy. Beliau cukup sabar menghabiskan waktu, membantu mengusir jengah tuntutan pendidikan, terjun dalam raba-raba keluguan kami. Setiap hari kami bertiga diarahkan, mengingat tahun itu adalah tahun terakhir penghabisan masa dasar pendidikan formal. SD. Aku tak banyak mengenal sosok beliau, background pendidikan dan civital masa muda. Jelasnya, pada pemilu tahun 1999, beliau sering terlihat memimpin kampanye Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia (SUNI) di kampung sebelah. Aku hanya bisa menyimpulkan saat itu, beliau adalah politikus. Kembali pada kiprah beliau sebagai tutor belajar kami. Ibarat gajah dengan belalainya, laksana harimau dengan belangnya, beliau adalah salahsatu sosok orang yang menorehkan jasa dalam hidupku.
Sering aku mengintip beliau dari belakang. Karena aku malu-malu bertatap dengan beliau, malu karena aku segan. Kusempatkan hari untuk berkunjung ke seberang jembatan jika aku liburan dari Pondok –pasca pemilu ’99-. Terlihat Bapak Osmalik beserta Ibunya Willy sedang menunggu Warung Jajan sekaligus WARTEL. Rasa ini sedikit aneh. Ada pilu menghampiri. Seolah mereka orang tua sendiri. Akhirnya kulontarkan sapa: “Bapak, Ibu, sehat?, Willynya ada?”. Bukan hanya orang tua Willy, Bapaknya Enang juga sekali-kali nampak, kutanyai: “Enang ada, Pak?”. “Main aja ke rumah!”, ini jawaban mereka. Tapi gobloknya aku, kelu menyimpan singgah di rumah sahabat-sahabat kecilku itu. Gusti.
Yesterday is history. Tomorrow is a mystery. Today is a gift. Hmmm…. Sampai disini larik-larik singkatku tersusun. Selagi aku hidup, selagi ada kesempatan untuk memuntahkan rasa. Lain latar beda kemasan mungkin akan kurangkai cerita indah masa-masa ingusan bersama Enang dan Willy lebih detail lagi. Karena, terlampau banyak jejak-jejak yang telah ditoreh, di rumah dan di bangku sekolah. Seribu halaman buku tidak akan cukup untuk mengungkap riwayat hidup kita bertiga. Hanya risalah ini yang bisa aku sampaikan, mungkin sebagai upaya merajut kembali benang-benang silaturahim yang tercecer, terpisah oleh eksistensi masing-masing, tersekat tuntutan hidup, terjarak oleh profesi; Subang-Karawang-Cairo. Dan semoga, keberkahan selalu menyertai kalian: Enang beserta keluarga, Willy dan Ibu, terkhusus Pahlawan Tanpa Tanda Jasa-ku; Bapak Osmalik.