Lelah sekali badan ini. Di pagi hari gW keluyuran ngedistribusiin Risoles ama Donut ke Mat'am–mat'am ama ke rumah-rumah mahasiswa Indo. Siang harinya gW ngampus, bukan tuk mungut siraman ilmu dari Dosen, tapi ngurusin administrasi ajaran baru. Seperti biasa, sore hari ampe tengah malem gW gawe di
toko Ice Cream.
Malam itu gW nginep di flatnya Sururi. coz angkutan umum ke rumah gW dah kagak ada. Kalo Taxi sih ada, cuma duit yang ada di saku kurang cukup. Alternatifnya, ya bermalam di flat temen terdekat yg mudah dikunjungi.
Temen-temen dah pada tidur. Insomnia gW kumat lagi. Dari pada bengong gak karuan, gW duduk manis depan kompi, muroja'ah Film "Angel and Demon" tuk ngabisin malam. Sedang asyik2nya melotot, tiba-tiba....
"
Ya Ahma...
Ya Ahma...
Ya Ahma..."
Diluar sana ada teriakan yang memecahkan keheningan malam nan dingin. gW cuek aja. Palingan pemuda gi manggil-manggil kawannya. Dah biasa, gak ada kompromi latar disini mah. Anggap aja ayam berkokok (dari pada anjing menggonggong,
huhuy..).
Eh, rupanya gW malah mikirin tuh teriakan tadi, "
Ya Ahma".
Ohhh iya, Orang Arab tuh kalo manggil nama, kadang huruf belakangnya di buang. "
Ya Ahma" tuh sebetulnya "Ya Ahmad" (Hei Ahmad). Kayak
Su`ad jadi
Su`a,
Sohibi jadi
Sohi,
Utsman jadi
Utsma,
Walad jadi
Wala ghitu. Dalam dunia grammatikal arab, perihal ngebuang huruf akhir nama orang yang dipanggil, itu disebut "
TARKHIM".
"
Ash-sholatu was-salamu `alaiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiik..... etc."
Nah Lho, syair-syair yang suka dikumandangkan sebelum adzan subuh itu bukannya disebut tarkhiem juga? Yapsss betull betull betull…, tapi itu mah sinonimnya
IBTIHALAT. Beda lagi.
Loe semua dah pada tau kan apa tuh TARKHIM secara terminologi disini. Kalo Loe lom tau, sedikit deh gW ulas.
Eng... ing... eng....... sekarang tulisan gW bakal dicampur-aduk pake Bahasa Indonesia yang baik dan Benar sesuai EYD (glek... glek...).
Bejibun pakar ngebahas "si Tarkhim" ini. Grammarian klasik mengabadikannya dalam karya-karya mereka, seperti Ibnu Jinni dalam Al-Khashaishnya, Ibnu Malik dalam "Al-Fiyah"nya, Ibnu Hisyam dalam "Qathrun-Nada wa Ballush-Shada"nya, Suyuthi dalam "Al-Asybah wan-Nazha`ir"nya, etc.
Para arsitek bahasa klasik seperti di atas menyuguhkan bahasan dalam paket mentah yang kita kenal dengan sebutan Matan dan ini menjadi ciri khas bagi mereka sebagai founding father dunia pembukuan Grammar Bahasa Arab. Adapun generasi sekarang, diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk menginterpretasikan paket tersebut sebagai lanjutan. Namun ada juga sebagian mereka yang menggamblangkan bahasan dengan korelasi fenomena sosial, politik, ekonomi atau budaya yang sedang terjadi waktu itu dan masa sebelumnya.
Profesor-profesor kontemporer pun gak mau kalah ngasih kontribusi tulisan tentang Tarkhim ini. Mereka-mereka yang kompeten dalam disiplin bidang sintaksis memodifikasikannya ke dalam berbagai variasi seperti paket Metode Quantum, Riset Komparatif, Studi Kritis, bahkan (mungkin dengan sotoynya melakukan) Rehabilitasi kaidah. Alasannya, bahasa itu kan berkembang. Jadi, so what gitu Lhoo. Bahkan bahasa itu, menurut George Zaydan dalam bukunya "Al-Lughah Al-Arabiyah ka`inun Hayyun" merupakan Makhluk Hidup.
Supaya Loe pade dapet tau lebih detail mengenai tarkhim ini, mendingan Loe buka "Awdhahul Masalik", trus cek bait Al-Fiyah yang ke-608. Di sana Ibnu Malik menggubah 12 bait syair tentang tarkhim, trus di bawahnya Loe baca penjabaran Ibnu Hisyam. Ato, Loe rujuk "Jami`ud-Durus karyanya Musthafa aL-GhaLayini. Bidik Bab "al-Munada aL-Murakhkham", niscaya Anda akan mendapatkan hadiah sebesar 1 Milliarrr.... hahaha, pokoknya seru deh.
Ada yang menarik di seputar kata “Ahma”. Asal Loe tau aja, ini bisa ngandung muatan makna ambigu Lho. Coba sedikit lirik dialektologi arab. Lebih spesifiknya lagi Loe perhatiin bahasa pasarannya orang Mesir. Sebagai contoh, gW uraikan sedikit perubahan dialek abjad yang dipakai di Mesir (terkhusus kota Kairo dan kota provinsi lainnya):
1.
Qaf, diubah menjadi
Hamzah. Misal:
Makhnuq (jengkel), menjadi
Makhnu2.
Jim, diubah menjadi
Gin. Misal:
Yurja (diharapkan), menjadi
Yurga3.
Tsa, diubah menjadi
Ta. Misal:
Tsalatsah (tiga), menjadi
Talatah4.
`Ain dan
Hamzah, dibaca Sama (tidak terdapat perbedaan ponetis)
5.
Dal dan
Dzal dibaca Dal (tidak terdapat perbedaan ponetis)
6. De el ellll….
Wow… berarti kata “
Ahma” bisa jadi maksudnya adalah “
Ahmaq” (seperti
Makhnuq, menjadi
Makhnu) yang translit bahasa Indonesianya bermakna orang Bego. Wahhh, kudu hati-hati nih kalo manggil nama Ahmad.
gW pernah denger Dosen mata kuliah “Qa`ah Bahts Ushulul-Lughah” di kelas ngomong gini:
“Ketika aflikasi dialek berbenturan dengan kode etik sosial yang berlaku, maka penggunaannya gak bakalan berfungsi seperti biasa. Sebagai contoh, orang Mesir tetap fasih mengucapkan "
Al-Qahirah" yang bermakna Kota Kairo. Mereka tidak mengucapkannya menjadi "Al-Ahirah" karena imej pendengar (red: orang yang ngerti bahasa arab)akan mengarah pada makna lain, yaitu Pelacur”.
Jadi, dikarenakan dialek bahasa yang digunakan di Negara-negara Arab itu bervarian, maka dalam tataran implementasi berlaku hukum relatifitas.
Let’s back to objek. Kata “
Ahma” mengandung dua kemungkinan makna. Yang pertama adalah panggilan seseorang yang bernama Ahmad. Dan inilah yang disebut tarkhim. Sedangkan, jika konteks “
Ahma” dipakai untuk mencaci orang, maka ini bukan tarkhim, melainkan reaksi dialek yang berlaku, karena yang di maksud “Ahma” disini adalah “Ahmaq”.
Lalu ketika ditakutkan terjadi ambiguitas makna dalam pemahaman publik (seperti kasus “
Al-Qahirah” dan “
Ahmad” tadi), maka
tarkhim dan dialek pasaran tidak difungsikan demi terciptanya kestabilan interaksi sosial (caellaa…).
Weleh.. weleh.... asyiek banget kan ngebahas grammar arab, ribet-ribet pusing ghitu (hehe). Eni wei, gitu aja deh.