Pagi itu pukul Sembilan. Langit Zagazig cerah, biru tanpa awan. Mungkin juga dengan kota lainnya, karena waktu itu Negeri Ahram sedang summer.
gW bergegas mengambil tas selendang idola berisi paspor, tasdhiq (surat keterangan) dari kuliah dan poto warna 4x6 2 buah yang sudah ku siapkan malam tadi. Dari flat lantai tujuh gW sedikit berlari karena
takut di bukrohin lagi kayak kemarin gara-gara kesiangan dan mendapatkan antrian panjang.
Dari depan Mansheet el-Salam gW menyetop Tramco. Setengah jalan dihabiskan orang yang sedang gerak jalan program Usbu’ Tsaqafinya Ibu Susan Mubarak sehingga jalan raya agak sempit dan macet.
Nyampe pukul 9.30. Ada lima orang mengantri, lumayan daripada seperti hari kemarin, antrian panjang 30 orang lebih.
Tepat waktu adzan, administrasi selesai. Mampir ke Masjid dekat kantor imigrasi, sekalian berteduh, cuci muka berwudhu, dan menunaikan zhuhur.
Plong terasa punya nyawa di Bumi Kinanah untuk setahun kedepan. gW berlenggang menuju kubri (kolong jalan layang) menunggu tramco pulang. Ada ibu bercadar dengan putri gadisnya usia SD, sama bercadar disampingku. Ibu itu bertanya padaku:
“Sa`ah kam dilwakti?”
gW jawab, “setengah dua, Madam”
gW sedikit ingin Mujamalah. Sekedar iseng dan ingin mengetahui statement si Madam itu, yang padahal pertanyaan ini gak mesti seharusnya gW tanyain.
“ya Madam, mumkin su`al?”
“Oh.. itfadhdhol” dengan dialek Slank yang mantaf.
“Madam ini panas-panas kuat sekali pakai Hijab Munaqqabah. prinsip apa yang Madam pegang?”
Madam itu menjawab:
“Lebih baik kepanasan di dunia daripada kepanasan di akhirat”
Jawabannya yang simpel membuat gW tertegun dan hanyut.
***
“Seednawi ya.. Kapten” sambil menepuk pundakku, kondektur tramco mengagetkan. gW sadar. Lumayan lama gW tertegun. Ibu dan anak gadis itu sudah menghilang. Mungkin sudah naik tramco sewaktu gW hanyut.
gW naik tramco. gW pilih kursi favorit; pojok kanan paling belakang. Perkataan Ibu tadi masih terngiang. Sambil menatap Sungai Nile pinggiran jalan, hati gW terpaku. "Dahsyat ku rasa".