Di sekretariat DPD PPMI (Dewan Pengurus Daerah Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia) Zagazig beliau banyak bercerita tentang kampusnya dan lingkungan tempat ia tinggal. Ia bilang, Tafahna adalah pemukiman indah. Suasana ekosistem yang natural, udara sejuk, biaya hidup murah, penduduknya ramah dan yang jelas hidup disana adem ayem gemah ripah loh jinawi.
Pertemuan kami tidak begitu lama. Hasbi pun harus pulang ke Tafahna malam itu. Di akhir percakapan ia mewanti-wanti agar gW berkunjung ke flat tempat ia tinggal jika
ijro`at MABA sudah rampung. Sambil tergesa-gesa turun dari lantai 4 ia setengah berteriak dengan dialek cirebonnya yang khas:
“Jangan lupa yah, dateng ke Tafahna, disana ada reboisasi tiap pagi!”
Hasbi sudah menghilang dari penglihatan. Sedikit terusik dengan kalimat “reboisasi tiap pagi”, jidat gW mengerut. Apa maksud reboisasi ini?
*****
Waktu "urus-urus" sudah selesai. Teringat pesan si Hasbi. Sore hari sebelum matahari tenggelam gW bertolak bersama Mang Riyan; senior tingkat empat menuju Tafahna Permai untuk menunaikan pesan, bersilaturahmi plus menyingkap misteri reboisasi. gW bermalam disana.
Di pagi hari, gW keluyuran bareng Mang Riyan brewok yang wajahnya persis Jendral Khattab sang pimpinan para Mujahid Checnia. Pertama, gW diajaknya ke mulut gerbang memasuki kampung itu. gW lihat pintu portal samping rel kereta yang dilewati malam tadi. Di atas gerbang panjang dan tinggi terpampang ucapan selamat memasuki kampung Tafahna
“Ahlan wa Sahlan bi Tafahna el-Ashraf”.
Tertulis lagi di sampingnya
“
Tafahna el-Ashraf Qaryah Namudzajiyah” (Tafahna kampung figur).
gW tanya Mang Riyan el-Qaruty,
“kenapa Tafahna dikatakan
Namudzajiyah?”
“Konon kampung ini sering dapat piala adipura tiap tahunnya” jawab beliau.
Dalam kekaguman, hati gW bergumam:
“Wuih… hebat, gak diragukan punya padanan ajektif
el-Ashraf. Coba kalo Zagazig ada “
el-Karim”nya, buat matching-matchingan aja. Keren dikit kan why not?!”
Berlanjut ke jalanan kampus. Taman indah sepanjang jalan membagi dua arah jalur lintas. Kanan-kiri jalan dihiasi indahnya hamparan gandum yang baru ditanam. Kami mengelilingi bangunan-bangunan kampus yang kelihatan tua. Lalu dibawanya aku ke belakang kampus. Ada komplek
Ma’ahid disana, mulai dari
Hadhanah,
Ibtida`i,
I’dadi dan
Tsanawi. Komplit sekali, mulai dari TK hingga PT ada disatu komplek. Dan satu yang membuatku lebih terharu di kampung ini, ada
Ma’had Takhassus Huffazh menjulang tinggi di komplek belakang. Terlihat sebagian siswa-siswanya hilir mudik mengenakan seragam khusus. Kepala mereka mengenakan peci merah yang dililit serban putih. Dengan lengan jalabiyah yang lebar, membuat mereka mirip masyayikh Al-Azhar. Betapa beruntung bapak2 yang punya anak seperti mereka. Tokoh-tokoh seperti Mahmoud Shaltout, Abdul Halim Mahmoud, Abdul Hamid Kisyk, Muhammad Al-Ghazali, Mutawalli Asy-Sya'rowi sebelum jadi orang besar, mereka dulunya seperti mereka juga. Begitu pula dengan kakak kelas gW DR. Yusuf al-Qaradhawi (ngaku-ngaku?) pernah mengenyam pendidikan di bangku
Ma’had Huffazh.
Berlanjut ke komplek pemukiman. Hening, jauh dari kebisingan kendaraan dan musik-musik
Tharab (dangdutnya Arab). Tepat sekali jika kampung ini dikatakan “Kampung Santri”. Penduduknya ramah-ramah dan gak sombong. gW sempat berfikir, mungkin semua orang disini punya keturunan darah Nabi Musa dan Harun (kallee). Ironis dengan "penduduk Mesir" yang ku dapati di Zagazig.
Selama kaki muter-muter di jalan, kepala geleng-geleng kesalutan, rupanya ada satu hal yang ganjil. gW perhatikan dari tadi, setiap ruas jalan dipenuhi dungkukan materi hijau lembek mengepul. Difikir-fikir, hmm…… kurang asem.. ini rupanya yang dimaksud si Hasbi. Dikirain reboisasi apa, ternyata...............