Bagaimana kabarmu seharian ini, Rabi'ah..? Maaf... aku baru menyapamu selarut ini.
Wahai Rabi'ah... engkau tahu betul bahwa semakin engkau tenggelam dalam berbincang-bincang dengan lawan jenis, hatimu akan semakin gersang. Semakin engkau asyik bersua dengan lawan jenis, pikiranmu akan semakin kalut. Semakin engkau bersenda dengan lawan jenis, alur hidupmu akan semakin tidak teratur. Rabi'ah sungguh tahu candu-candu yang akan mengganggu kekhusyuannya dalam mengabdi pada Tuhannya.
Rabi'ah.. Oh.. Rabi'ah... yang tadinya engkau seorang babu yang menghamba majikannya, kemudian engkau berubah menjadi wanita merdeka yang menghamba Tuhannya semata. Kau taruh cintamu total hanya untuk Tuhanmu, sehingga Hasan Al-Bashri pun tak sanggup mengganggu cintamu pada "Rabb"mu. Dan lelaki sekaliber Muhammad bin Sulaiman Al-Hasyimi; Gubernur Bashra yang kaya raya itu pun tak mampu membuat hatimu luluh.
Untuk menolak lamaran para lelaki yang tergila-gila, engkau tidak merusak paras cantikmu sebagaimana yang dilakukan oleh Naila gadis belia dari Syam itu. Engkau cukup menyepi diri dari keramaian. Bagimu cukup menghindar rayuan-rayuan hawa nafsu lelaki dan menepis godaan duniawi lainnya dengan semata mendekatkan diri pada cinta sejatimu; cinta langit, cinta abadi, cinta pada Tuhanmu.
Kemudian aku mendendangkan sebait syair kepada Rabi'ah tentang Ramlah: "Tajulu khalakhilu an-nisa wala aro ... Liramlata khalkhalan yajulu wala qulba"
Tertegun Rabi'ah mendengar larik-larikku tentang Ramlah. "Siapa pula itu Ramlah?" tanya Rabi'ah penasaran.
"Kecintaannya pada Tuhannya sama persis sepertimu, namun dia tak bercincin bergelang, tak beranting berkalung. Orang-orang mengenalnya dengan sebutan wanita tuli, bisu, buta, cacat," jawabku.
"Ramlah tak punya muka, wajahnya rata," aku melanjutkan cerita. "Hah..." Rabi'ah sontak heran, "maksudnya bagaimana, apa ia seperti Naila yang merusak parasnya itu?"
"Oh... tidak, Ramlah tak seperti Naila. Ramlah sebenarnya wanita cerdas yang dikaruniai fisik yang sempurna, namun ia enggan karunia Tuhannya itu menjadi bahan gangguan bagi para pria pada zamannya. Ramlah lebih memilih menutup tubuhnya dengan baju kurung yang ia kenakan sehari-hari. Tak pernah setitik anggota tubuhnya terlihat oleh pria manapun yang bukan mahromnya."
Pada akhirnya aku memberi Rabi'ah sebuah kisah tentang Fariha. Aku mengawali kisahnya dengan sebait puisi:
Aku ingin menyebutmu "bunga pagi" Semerbak wangimu berhembus dibawa angin Mimpi tentangmu pun tak pernah berhenti merasuki malam-malamku Hati ini tak kuasa berbisik: aku ingin membersamaimu Temani aku dengan senyummu yang manis Maka ku bisikkan pada sepertiga malam, Bahwa helus angin yang membawa semerbak bunga pagi itu Ia sudah ada disini, di kota mimpiku. Aku sedang menjemputnya Melewati jalanan sempit berduri berbeling.
"Siapa itu 'bunga pagi'?" tanya Rabi'ah "Dialah Fariha," jawabku "Darimana kau mengenal Fariha?" " Entahlah, mungkin Malaikat langit yang telah mendatangkannya kedalam hidupku?" "Dia-kah yang terlukis dalam mimpimu sebagai bulan yang kau temui itu?" "Ya, benar..."